JELAJAH LERENG TAMBORA, BERBAGI RASA DI OI BURA

JELAJAH LERENG TAMBORA, BERBAGI RASA DI OI BURA

Oi Bura adalah desa terpencil yang berada paling atas di lereng barat Gunung Tambora. Secara administratif masuk wilayah Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima. Sejumlah etnis yang tinggal di Oi Bura berasal dari Mbojo (Bima), Bali, Timur (NTT), Sasak (Lombok), Jawa dan Sulawesi. Menuju Oi Bura bisa ditempuh melalui Desa Pancasila di Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu atau melalui Desa Labuhan Kenanga yang masuk wilayah Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima. Oi Bura berjarak kurang lebih 5 jam perjalanan dari Kota Bima dan 1 jam lebih jika berangkat dari Desa Calabai.

Saat silaturahmi dan menginap di Desa Calabai, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Kamis 30 September 2021, Bang Zul Gubernur NTB, mendapat informasi tentang potensi desa Oi Bura yang berada di lereng barat Gunung Tambora. Agenda kunker yang seharusnya berakhir di Calabai hari itu, mendadak ditambah oleh Bang Zul, akibatnya seluruh rombongan terpaksa batal balik ke Mataram.

Menumpang kendaraan 4WD, Jum’at 1 Oktober 2021 pagi, Bang Zul dan rombongan bergerak naik menuju Desa Oi Bura melalui Labuhan Kenanga. Tiba di Jembatan Besi, dusun pertama, Bang Zul singgah sebentar di sebuah sekolah dasar dan memberikan bantuan Rp 100 juta untuk perbaikan sekolah yang bangunannya sudah rusak sana-sini.

Dari SD N 1 Jembatan Besi, rombongan kembali bergerak naik menuju dusun di atasnya. Meski mengendarai kendaraan 4WD, tak mudah untuk sampai di Oi Bura. Kondisi jalan tanah berdebu dan terjal di beberapa titik menjadi tantangan tersendiri yang harus dilalui. Untungnya, pemandangan sekitar berupa perkebunan warga dan hamparan hutan kopi yang indah bisa mengganti penatnya perjalanan.

Tiba di Dusun Tambora, Bang Zul dan rombongan beristirahat sejenak di Rumah Atas atau sering disebut Pesanggrahan yang termasuk salah satu inventaris cagar budaya situs Gunung Tambora. Rumah Atas dibangun tahun 1930 oleh NV. Pasuma, yaitu perusahaan swasta pengelola kopi di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Dari serambi Rumah Atas, Bang Zul menikmati hamparan pemandangan hijau yang berada di lereng Barat Gunung Tambora. Nampak di kejauhan gugusan Pulau Satonda yang berhadapan langsung dengan pesisir pantai Labuhan Kenanga. Indah sekali. Apalagi di sekitar Pesanggrahan atau Rumah Atas banyak ditumbuhi pepohonan besar yang meneduhkan.

Setelah melihat-lihat situs di Pesanggrahan, Bang Zul dan rombongan kembali bergerak naik menuju Pura Agung Udaya Parwata. Pura itu menjadi pusat peribadatan 30 KK warga Hindu Bali yang tinggal di Kampung Barat. Bang Zul dan sebagian kepala OPD memilih mengendarai motor trail untuk tiba di lokasi. Rimbun pepohonan di sisi kanan kiri jalan yang membelah luasnya perkebunan kopi menemani eloknya perjalanan.

Tiba di Pura Agung Udaya Parwata, Bang Zul disambut seorang Pemangku. Penyambutan yang sangat hangat dan penuh kekeluargaan. Di halaman pura, mereka berfoto bersama, mengisi waktu yang seakan berhenti berdetak. Di tangga berundak, Bang Zul berbincang sejenak tentang maha kayanya kawasan Gunung Tambora. “Oi Bura yang menenangkan. Waktu di sini seakan berhenti berdetak. Pohon-pohon berbisik lembut, meneduhkan,” tutur Bang Zul penuh syukur.

Sejenak di Pura Agung Udaya Parwata, Bang Zul berpamitan dengan tuan rumah, kembali turun ke Dusun Tambora untuk melihat kondisi bekas pabrik pengolahan kopi yang sempat terlewat. Pabrik pengolahan kopi peninggalan masa kolonial Belanda itu sekarang kondisinya sudah rusak berat akibat lama tidak beroperasi. Pabrik didirikan oleh NV. Pasuman sejak tahun 1930-an. Bahan bangunan terdiri dari pondasi batu semen, dinding terbuat seng dan kayu hutan serta tiang bangunan dari besi.

Bangunan pabrik berbentuk memanjang. Pada sisi sebelah timur menjorok keluar terdapat tempat untuk menyimpan beras yang dulunya untuk logistik karyawan. Pada sisi bagian utara menjorok keluar terdapat gudang tempat kopi yang sudah diolah. Dinding dan atap bangunan pabrik terbuat dari seng yang sudah banyak terlepas dan hilang. “Kita ngomongin tentang industrialisasi sekarang, Belanda sudah bikin di sini sejak tahun 1932,” ujar Bang Zul penuh makna.

Desa Oi Bura menjadi saksi betapa subur dan kayanya kawasan Tambora. Komoditas kopi di Tambora telah dibudidayakan lama sebelum letusan Gunung Tambora pada 1815. Pada masa itu, Belanda telah menjalin perdagangan dengan tiga kerajaan di sana yaitu Kerajaan Pekat, Tambora dan Sanggar. Sejak zaman kolonial, produksi kopi di Tambora dikuasai perusahaan swasta di bawah pemerintahan Belanda. Pada tahun 1930, dibuka perkebunan kopi seluas 80.000 hektar di lereng barat Tambora. Perkebunan kopi ini memicu munculnya pemukiman di sekitarnya sebagai dampak perekonomian.

Oi Bura juga menjadi saksi bahwa kebhinekaan bukan hanya cerita dan angan-angan. Berbagai suku dan agama hidup bahagia dan rukun di daerah ini. Saat mampir di rumah salah seorang warga, Bang Zul dan rombongan disuguhi banyak hidangan dan sempat mencicipi nikmatnya kopi Tambora.

Ada cerita di Oi Bura. Desa terpencil di lereng barat Gunung Tambora yang dipenuhi situs cagar budaya. Bertanah subur dengan kopi sebagai komoditas andalannya. Didiami berbagai etnis berlatar adat istiadat, budaya dan agama berbeda-beda. Menjunjung tinggi kebhinekaan dan selalu menjaga harmoni kehidupan bersama manusia dan alam. “Insya Allah melalui koordinasi dengan Pemkab Bima kami akan perbaiki jalannya tahun depan, karena ada surga yang tersembunyi di sana,” komitmen Bang Zul Gubernur NTB, sesaat sebelum meninggalkan Oi Bura. (RL*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *